The Great Hack: Ketika Data Pribadi Menjadi Senjata Politik di Era Digital
Aku masih ingat pertama kali menonton The Great Hack di Netflix. Film dokumenter itu bukan sekadar tontonan biasa—ia seperti tamparan keras bagi siapa pun yang hidup di era digital. Di awal, aku pikir ini hanya film tentang perusahaan teknologi yang bermain-main dengan data pengguna. Tapi semakin lama aku menontonnya, semakin aku sadar: ini bukan cerita fiksi, ini adalah kenyataan yang kita jalani setiap hari.
Film The Great Hack menggali dalam-dalam kisah di balik skandal Cambridge Analytica, yang sempat mengguncang dunia dan menyeret nama besar seperti Facebook dan Donald Trump. Dalam dokumenter ini, kita diajak menyelami bagaimana data pribadi — sesuatu yang dulu terasa sepele — bisa berubah menjadi alat politik yang sangat kuat.
Awal Cerita: Dunia yang Terkoneksi dan Tak Pernah Tidur

Kita hidup di zaman di mana hampir setiap langkah kita meninggalkan jejak digital. Dari postingan Instagram, riwayat belanja online, hingga pencarian Google sederhana seperti “tempat makan terdekat”. Semua itu dikumpulkan, dianalisis, dan dipetakan untuk membentuk profil kepribadian digital kita.
Sutradara film The Great Hack, Karim Amer dan Jehane Noujaim, menggambarkan dunia ini seperti sebuah ekosistem data raksasa. Dalam setiap menit, jutaan informasi dikirim ke awan digital yang tak terlihat. Dan dari situ, muncullah pertanyaan besar yang menjadi inti film The Great Hack : siapa sebenarnya yang memiliki data kita?
Film The Great Hack tidak langsung menjawab, tetapi seiring berjalannya waktu, kita mulai melihat pola yang menakutkan — data bukan hanya milik kita lagi. Ia telah menjadi komoditas paling berharga abad ke-21, melebihi minyak, emas, atau bahkan kekuasaan Netflix.
Cambridge Analytica: Mesin Manipulasi Politik
Inti dari The Great Hack adalah kisah Cambridge Analytica, sebuah perusahaan konsultan politik asal Inggris yang mengklaim mampu “mengubah perilaku audiens besar melalui data”. Dengan teknologi analitik canggih, mereka bisa mengetahui siapa kita, apa yang kita sukai, apa yang kita takuti, bahkan bagaimana cara terbaik untuk memengaruhi keputusan kita — terutama di bilik suara.
Bagaimana mereka melakukannya?
Melalui aplikasi tes kepribadian sederhana di Facebook. Saat jutaan pengguna mengisi kuis tersebut, aplikasi itu tidak hanya mengumpulkan data mereka, tapi juga data teman-teman mereka — tanpa izin. Dari situ, Cambridge Analytica berhasil membangun profil psikografis lebih dari 87 juta pengguna Facebook.
Dengan informasi sedetail itu, mereka bisa menargetkan pesan politik secara spesifik. Misalnya, jika seseorang cenderung takut terhadap imigrasi, maka algoritma akan menampilkan konten politik yang memperkuat ketakutan itu. Jika seseorang tertarik pada patriotisme, mereka akan disajikan iklan yang menonjolkan kebanggaan nasional.
Inilah yang disebut microtargeting — teknik yang bisa “mengatur ulang” persepsi seseorang tanpa mereka sadari.
Brexit, Trump, dan Kekuatan Propaganda Modern
Cambridge Analytica tidak hanya bermain di satu panggung politik. Mereka juga terlibat dalam dua peristiwa besar dunia: kampanye Brexit di Inggris dan pemilihan Presiden AS tahun 2016 yang mengantarkan Donald Trump ke Gedung Putih.
Di film, kita melihat bagaimana data digunakan sebagai bahan bakar propaganda. Iklan politik tidak lagi bersifat umum seperti di televisi, tapi dikustomisasi untuk setiap individu berdasarkan kepribadian dan keyakinan mereka.
Yang membuatnya berbahaya adalah: semua ini terjadi tanpa transparansi. Kita tidak tahu siapa yang membuat pesan, siapa yang membayar iklan, dan siapa yang menjadi target. Dunia digital menciptakan gelembung informasi (echo chamber) di mana kita hanya melihat hal-hal yang memperkuat opini kita sendiri.
Itulah mengapa The Great Hack terasa seperti cermin bagi masyarakat modern: kita mengira bebas, tapi sebenarnya sedang dikendalikan oleh algoritma yang tahu segalanya tentang kita.
Tokoh Kunci: Brittany Kaiser dan Kebangkitan Kesadaran

Salah satu tokoh sentral dalam dokumenter ini adalah Brittany Kaiser, mantan eksekutif Cambridge Analytica yang akhirnya menjadi whistleblower. Di awal film, ia digambarkan sebagai sosok ambisius yang percaya bahwa data dapat digunakan untuk hal-hal positif. Namun setelah menyadari dampak manipulatif yang dilakukan perusahaannya, ia memutuskan untuk membuka semua kebusukan di balik layar.
Kisah Brittany menggugah banyak orang karena ia menunjukkan sisi manusiawi dari industri data. Ia bukan sekadar aktivis, tapi seseorang yang pernah berada di dalam sistem itu sendiri. Ketika ia bersaksi di hadapan parlemen, wajahnya penuh beban — antara rasa bersalah dan tekad untuk menebus kesalahan.
Film The Great Hack memperlihatkan bagaimana keberanian seseorang untuk berbicara bisa mengguncang tatanan global. Brittany tidak hanya membocorkan rahasia perusahaan, tapi juga membuka mata dunia terhadap fakta bahwa data bisa menjadi senjata politik yang sangat mematikan.
David Carroll: Perjuangan untuk Hak Atas Data
Tokoh penting lainnya adalah David Carroll, seorang profesor media dari New York, yang menjadi simbol perjuangan masyarakat sipil untuk mendapatkan kembali kendali atas data pribadi. Dalam film, ia mencoba menuntut Cambridge Analytica agar menyerahkan data yang dikumpulkan tentang dirinya — sesuatu yang seharusnya menjadi hak dasar pengguna.
Namun perjuangannya tidak mudah. Perusahaan itu menolak, bersembunyi di balik celah hukum, dan akhirnya bangkrut sebelum ia mendapatkan apa yang ia cari. Tapi pesan yang disampaikan jelas: di dunia digital, kita hampir tidak punya kendali terhadap apa yang dikumpulkan tentang kita.
David Carroll menjadi wajah perlawanan terhadap sistem besar yang tampaknya tak bisa disentuh. Ia bukan pejuang bersenjata, melainkan simbol dari hak digital — hak untuk tahu, menghapus, dan mengontrol data kita sendiri.
Ketika Privasi Tidak Lagi Privasi
Menonton The Great Hack membuatku berpikir ulang tentang arti privasi. Dulu, privasi berarti menutup pintu kamar. Sekarang, bahkan saat pintu itu tertutup, data kita tetap keluar — melalui ponsel, aplikasi, dan media sosial.
Kita sering memberikan izin tanpa membaca, menekan tombol “Accept All Cookies”, atau mengizinkan aplikasi “mengakses lokasi saat digunakan”. Semua itu terlihat sepele, tapi di baliknya ada jaringan raksasa yang memetakan perilaku kita setiap detik.
Film The Great Hack menggambarkan dunia di mana privasi telah menjadi ilusi, dan data telah menjadi mata uang baru. Setiap klik adalah transaksi. Setiap like adalah informasi. Setiap foto yang kita unggah menjadi bagian dari puzzle besar yang disebut “profil digital”.
Dan yang lebih menakutkan, semua itu bisa digunakan bukan hanya untuk menjual produk, tapi juga untuk membentuk opini, memengaruhi politik, bahkan menentukan masa depan demokrasi.
Refleksi Dunia Digital: Kita Adalah Produk
Kalimat paling terkenal yang muncul dalam film The Great Hack adalah:
“Jika kamu tidak membayar untuk produknya, berarti kamulah produknya.”
Kalimat ini menghantam keras, karena itulah realitas dunia digital sekarang. Media sosial memberi kita platform gratis — tapi sebagai imbalannya, mereka memanen perhatian dan data kita. Kita tidak lagi menjadi pengguna, melainkan komoditas yang diperjualbelikan di pasar iklan digital.
Facebook, Google, Twitter — semua berlomba-lomba memaksimalkan keterlibatan pengguna, bukan untuk meningkatkan kualitas interaksi, tapi untuk mengumpulkan lebih banyak data. Kita dikurung dalam algoritma yang dirancang untuk membuat kita terus menggulir layar tanpa henti.
Dan di balik layar, ribuan perusahaan data broker menganalisis, menjual, dan memanfaatkan informasi kita untuk tujuan komersial maupun politik.
Baca fakta seputar : Movie
Baca juga artikel menarik tentang : Saving Private Ryan: Mahakarya Perang yang Mengguncang Hati













