Avascular Necrosis: Penyakit Langka yang Diam-Diam Mematikan Tulang
Ada satu masa dalam hidup saya ketika berjalan saja terasa seperti menanggung beban dunia. Lutut saya gemetar setiap kali menapak, dan pinggul terasa seperti terbakar dari dalam. Awalnya saya pikir ini hanya kelelahan biasa akibat mengajar terlalu lama sambil berdiri di depan kelas. Tapi rasa sakit itu tak kunjung pergi. Justru semakin hari semakin dalam — seperti ada sesuatu yang mati di dalam tubuh saya.
Dan ternyata benar. Sebagian dari tulang saya memang benar-benar “mati”. Dokter menyebutnya Avascular Necrosis, atau yang juga dikenal dengan nama lain seperti Osteonecrosis — kondisi ketika aliran darah ke tulang terhenti, membuat sel-sel tulang kehilangan suplai oksigen dan akhirnya mati perlahan.
Awal Avascular Necrosis yang Tak Pernah Saya Duga

Semua bermula sekitar tiga tahun lalu. Saat itu saya baru saja sembuh dari cedera kecil setelah jatuh dari motor. Tidak ada yang terlalu parah, hanya sedikit nyeri di bagian panggul. Tapi seiring waktu, rasa sakit itu tidak kunjung reda. Malah semakin menusuk setiap kali saya berjalan jauh atau menaiki tangga sekolah Alodokter.
Saya akhirnya memutuskan untuk periksa ke dokter ortopedi. Setelah serangkaian pemeriksaan, termasuk rontgen dan MRI, dokter menatap hasilnya lama sekali sebelum berkata dengan nada hati-hati,
“Pak, sepertinya Bapak mengalami Avascular Necrosis di bagian kepala tulang paha.”
Saya terdiam. Avascular apa? Baru kali itu saya mendengar istilah semacam itu. Saya sempat berpikir itu hanya istilah medis untuk nyeri sendi. Tapi dokter menjelaskan bahwa ini bukan hal sepele — tulang saya perlahan kehilangan kehidupan karena kekurangan pasokan darah.
Apa Sebenarnya Avascular Necrosis Itu?
Penjelasan dokter membuat saya tersadar betapa rumitnya tubuh manusia. Tulang, meski terlihat keras dan kuat, ternyata juga makhluk hidup yang butuh aliran darah. Ketika pembuluh darah yang menyuplai bagian tulang tertentu tersumbat, rusak, atau terganggu, maka bagian itu akan mulai mati.
Avascular Necrosis bisa terjadi di berbagai bagian tubuh — paling sering di pinggul, tapi juga bisa di lutut, bahu, pergelangan kaki, bahkan rahang. Ketika jaringan tulang mati, bagian itu bisa melemah dan akhirnya ambruk, menyebabkan sendi kehilangan bentuk dan fungsi normalnya.
Dalam banyak kasus, kondisi ini berkembang perlahan, sering tanpa gejala di awal. Namun ketika rasa sakit mulai muncul, itu artinya tulang sudah mulai rusak.
Penyebab yang Tak Selalu Jelas
Salah satu hal yang membuat Avascular Necrosis begitu menakutkan adalah karena penyebabnya sering tidak pasti. Dokter menjelaskan pada saya bahwa banyak faktor bisa memicu gangguan aliran darah ke tulang.
Beberapa pasien mengalaminya setelah cedera atau patah tulang yang merusak pembuluh darah di sekitar tulang. Ada pula yang disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka panjang — obat yang sering diresepkan untuk alergi, asma, atau penyakit autoimun. Alkohol berlebihan juga menjadi faktor risiko besar karena bisa mempersempit pembuluh darah dan menumpuk lemak di dalamnya.
Dalam kasus saya, kemungkinan besar kombinasi antara cedera motor dan riwayat penggunaan obat kortikosteroid untuk mengatasi sinusitis kronislah yang menjadi pemicu.
Rasa Sakit yang Tak Kasat Mata
Bagi orang lain, saya tampak baik-baik saja. Saya masih bisa mengajar, masih bisa berjalan ke kelas, bahkan masih bisa tertawa bersama murid-murid. Tapi di dalam, saya berjuang dengan rasa sakit yang luar biasa — terutama ketika malam tiba.
Rasa sakit itu tidak seperti nyeri biasa. Ia seperti tekanan dalam yang terus menghimpit dari dalam tulang, membuat saya sulit tidur. Setiap kali duduk terlalu lama, lalu berdiri, pinggul saya seolah berkarat — kaku, panas, dan menyakitkan.
Saya mulai menyadari bahwa Avascular Necrosis bukan hanya penyakit fisik, tapi juga penyakit mental. Ia menguras kesabaran, menguji ketahanan, dan membuat seseorang bergulat antara rasa takut dan harapan.
Perjalanan Menuju Diagnosis dan Pemahaman
Proses diagnosis Avascular Necrosis tidak instan. Setelah pemeriksaan awal dengan rontgen, dokter menyarankan MRI untuk melihat kondisi jaringan tulang lebih detail. Hasil MRI menunjukkan adanya area gelap di bagian kepala tulang paha — tanda khas bahwa suplai darah ke sana sudah berkurang drastis.
“Bagian itu sudah mulai nekrosis,” kata dokter sambil menunjukkan gambar hasil pemindaian. “Kalau dibiarkan, sendinya bisa kolaps.”
Kata “kolaps” itu terus terngiang di kepala saya. Bayangan harus menjalani operasi besar membuat saya panik. Tapi dokter menenangkan saya — masih ada pilihan pengobatan sebelum sampai ke tahap operasi total.
Tahapan dan Tingkat Keparahan

Menurut dokter, Avascular Necrosis dibagi menjadi beberapa tahap, tergantung pada tingkat kerusakan tulang.
Tahap awal, suplai darah mulai terganggu tapi bentuk tulang masih normal.
Tahap pertengahan, jaringan tulang mulai melemah dan terjadi retakan kecil.
Tahap lanjut, tulang mulai kolaps, bentuk sendi berubah, dan nyeri semakin hebat.
Tahap akhir, kerusakan merembet ke permukaan sendi, menyebabkan arthritis sekunder yang membuat gerakan menjadi sangat terbatas.
Saya berada di tahap dua menuju tiga, artinya sudah cukup parah, tapi masih bisa diupayakan agar tidak semakin memburuk.
Perjuangan Melawan Rasa Sakit dan Harapan Sembuh
Dokter memberi saya beberapa opsi pengobatan. Yang pertama adalah menghindari tekanan berlebih pada sendi — artinya saya harus mulai menggunakan tongkat untuk berjalan. Awalnya saya menolak. Saya masih merasa terlalu muda untuk berjalan dengan tongkat. Tapi setelah beberapa kali hampir jatuh karena nyeri mendadak, saya akhirnya menyerah.
Selain itu, saya juga menjalani fisioterapi untuk memperkuat otot sekitar sendi, serta mengonsumsi obat-obatan untuk meningkatkan aliran darah. Dokter juga menyarankan penggunaan bisfosfonat, obat yang biasanya digunakan untuk osteoporosis, dengan tujuan memperlambat kerusakan tulang.
Namun, meski semua itu membantu, kondisi tulang yang sudah mati tidak bisa benar-benar hidup kembali.
Dalam kasus seperti saya, pilihan akhir yang mungkin harus dihadapi adalah operasi penggantian sendi (hip replacement). Hanya mendengarnya saja sudah membuat saya ngeri. Tapi melihat bagaimana tulang perlahan kehilangan bentuk, saya mulai mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan itu.
Ketika Hidup Harus Menyesuaikan Diri
Hidup dengan Avascular Necrosis berarti belajar untuk menyesuaikan diri dengan keterbatasan. Saya tak bisa lagi berjalan jauh seperti dulu, tak bisa berdiri lama di depan papan tulis, bahkan duduk pun harus mencari posisi yang tidak menekan panggul.
Saya belajar untuk lebih sabar. Saya juga belajar untuk menerima bantuan, hal yang dulu sangat sulit bagi saya. Murid-murid saya sering membantu membawakan buku atau menata kursi, dan saya merasa rendah hati sekaligus tersentuh.
Kondisi ini mengubah saya — bukan hanya secara fisik, tapi juga secara mental. Saya jadi lebih peka terhadap rasa sakit orang lain, lebih menghargai setiap langkah kecil yang bisa saya ambil tanpa rasa nyeri.
Dukungan Keluarga dan Teman: Obat yang Tak Tertulis di Resep
Dalam perjalanan melawan Avascular Necrosis, dukungan dari orang-orang terdekat sangat berarti. Istri saya selalu memastikan saya tidak melanggar larangan dokter. Anak-anak saya, yang dulu sering saya antar jalan pagi, kini gantian mendorong kursi roda kecil ketika rasa nyeri datang.
Bahkan rekan-rekan guru di sekolah memahami kondisi saya. Mereka sering menukar jadwal mengajar agar saya bisa beristirahat lebih banyak. Semua itu membuat saya sadar: penyakit Avascular Necrosis memang berat, tapi saya tidak sendirian.
Teknologi Medis dan Harapan Baru
Seiring waktu, saya mulai membaca lebih banyak tentang Avascular Necrosis. Saya menemukan bahwa dunia medis terus berkembang. Ada prosedur baru seperti core decompression, yaitu pembuatan lubang kecil di tulang untuk mengurangi tekanan dan merangsang pembentukan pembuluh darah baru.
Ada juga pendekatan regeneratif, seperti terapi sel punca (stem cell therapy) yang menjanjikan harapan untuk memperbaiki jaringan tulang yang rusak. Meski belum sepenuhnya umum di Indonesia, tapi di beberapa negara maju, hasilnya cukup menjanjikan.
Mendengar itu, saya kembali punya harapan. Mungkin suatu hari nanti, saya bisa berjalan tanpa tongkat lagi — bukan karena keajaiban, tapi karena kemajuan ilmu pengetahuan.
Baca fakta seputar : Healthy
Baca artikel menarik lainnya tentang : Atresia Duodenum: Perjuangan Kecil yang Menginspirasi di Dunia Medis













